"Bunda
..., jadah itu artinya apa?" Bunda tersentak waktu itu. Tak menyangka
pertanyaan itu akan keluar dari sela bibir mungilku, gadis kecilnya yang baru
berumur lima tahun. "Kenapa Sayang?" Bunda bertanya sambil mendekapku
di dadanya.
"Orang-orang menyebutku seperti itu,"
jawabku dengan sangat polos. Aku memeluk Bunda semakin erat dan merasakan
perlindungannya. Di waktu lainnya aku ajukan pertanyaan lain padanya.
"Bunda ..., apa saya punya Ayah? Orang-orang
itu bilang saya tak punya Ayah," tanyaku. Bunda baru saja selesai
mendongeng padaku waktu itu. Bunda tertegun begitu lama.
"Ada!" tegas Bunda meyakinkanku.
"Di mana? Kenapa aku tak bisa menemuinya?"
Bunda membimbingku bangkit dari tempat tidur kayu
berkepinding. Berjalan ke halaman tanpa penerangan. "Kau lihat langit di
atas sana?" Bunda bertanya tanpa melepas genggamannya. Aku mengangguk
mengiyakan. "Ayahmu ada di sana!" jawab Bunda meyakinkan.
Aku tidak melihat apa-apa. Selain langit hitam dan
taburan berjuta bintang tidak ada gambar wajah manusia terlihat di sana. Tapi
aku tidak ingin bertanya lagi. Barangkali ayahku adalah satu di antara kerlip
bintang-bintang itu. Besok jika anak-anak itu menggodaku lagi dan mengatakan aku
tidak punya ayah aku sudah punya jawabannya.
* * *
Sejak kecil aku cuma punya Bunda. Perempuan yang
miskin tanpa harta tapi penuh cinta. Yang selalu menyediakan dadanya untuk
menyerap luka-luka. Dengan upah seadanya sebagai tukang cuci pakaian pada beberapa
keluarga, Bunda selalu menabung. Katanya aku harus sekolah setinggi mungkin dan
jadi orang pandai. Agar tidak bodoh dan melarat seperti dirinya.
Bunda lewati seluruh kehidupan berat sendiri.
Mengasuh anak yang terus tumbuh tanpa pendamping di sisi. Tidak mudah memang.
Tapi tidak sekalipun aku melihatnya berduka. Kecuali sekali pada suatu malam
aku terbangun dan melihatnya mengisak di atas sehelai sajadah. Setiap kali aku
menanyakan hal itu pada Bunda, cuma air matalah yang kemudian menjadi jawabannya.
Seperti menguak luka yang tak pernah kering sama sekali. Lalu aku jadi tak
pernah tega memaksa Bunda untuk menjawabnya. Sebab Bunda terlalu mulia untuk
terluka.
Aku tidak ingin mengecewakan Bunda. Perjuangannya
tidak boleh sia-sia. Keinginannya melihatku sekolah setinggi mungkin memacu
semangatku untuk belajar dengan giat. Aku selalu berhasil mencapai gelar juara
sejak duduk di bangku SD hingga SMU. Lalu kemudian aku terpaksa berpisah dengan
Bunda.
Aku diterima masuk tanpa test di salah satu
perguruan tinggi terkemuka di kota Pontianak. Sekarang aku bahkan telah
diterima bekerja di salah satu Bank Syariah terkemuka yang baru berdiri. Aku
ingin menjemput Bunda untuk mengajaknya pindah ke kota ini. Tapi Bunda menolak.
* * *
Kukira dengan meninggalkan tempat kelahiran, aku
akan bisa hidup dengan tenang. Semua mimpi buruk masa kecil tentang siapa
ayahku tidak akan memburuku sampai ke kota ini. Tapi tidak. Sepertinya ia
menjelma jadi kutukan yang mengikuti kemana aku pergi. Aku telah dewasa kini.
Telah siap untuk menikah dan berkeluarga. Sudah tiga orang lelaki shaleh yang
datang mengajukan lamaran padaku. Tapi sudah tiga kali pula aku terpaksa
menolaknya. Aku takut menceritakan keluargaku. Aku tak mungkin mengatakan bahwa
aku anak sebuah bintang.
"Rabbi ..., aku hanya ingin tahu siapa lelaki
yang menjadi ayahku. Hanya itu. Apa aku durhaka pada Bunda?"
"Kau beruntung masih mempunyai Bunda. Aku
dibesarkan di panti asuhan, tak tahu siapa keluargaku." Asti, teman satu
kamarku mencoba menghiburku. Aku insyaf kini. Aku masih sangat beruntung
mempunyai Bunda. Dalam sujudku malam itu aku menangis. Mohon kesempatan pada
Allah untuk membahagiakan Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum
bunga.
* * *
Berita itu sampai lewat seorang tamu. Salah
seorang tetangga kami di kampung dulu. Sengaja datang untuk mengunjungiku.
Padaku ia cerita Bunda sedang sakit. "Sebenarnya ia sakit sejak lama. Tapi
tak mau cerita. Bunda bilang tak mau kalau pekerjaanmu terganggu. Tapi aku
pikir kau memang perlu tahu!"
Di rumah aku lihat Bunda terbaring di tempat
tidurnya. Tempat tidur yang sama seperti masa kecilku dulu. Tempat Bunda biasa
mendekap, mendongeng dan berdoa sebelum lelap menyergapku.
"Kenapa Bunda tidak memberitahuku?"
tanyaku setelah mencium tangannya.
"Bunda tak mau pikiranmu terganggu,"
jawabnya sambil tetap mengukir senyum di wajahnya. Tapi aku melihatnya semakin
lemah saja. "Bunda ingin mengatakan sesuatu tentang ayahmu, ia ...,"
"Tidak perlu, Bunda," potongku cepat.
"Jangan katakan apa-apa. Tidak ada yang perlu Bunda jelaskan tentang masa
lalu. Bunda tetaplah Bunda. Perempuan yang dicipta dari seribu kuntum
bunga!"
Aku memang sudah tidak lagi perduli. Bunda manusia
biasa. Mungkin pernah khilaf di masa lalunya. Tapi bagiku kini Bunda adalah
anugerah Allah terbesar dalam hidup ini. Dua hari kemudian Bunda berpulang ke
Rahmatullah.
Malam itu kembali aku menatap langit. Seperti
waktu kecil dulu saat aku bertanya pada Bunda di mana ayahku. Bunda akan
menunjuk ke arah langit.Tempat kegelapan malam dihiasi pendar jutaan bintang.
Bunda kini telah pergi. Menyusul ayahku di tempat yang abadi. Dan aku tahu
kini. Jika seorang lelaki shaleh datang untuk melamar dan bertanya tentang
keluargaku, aku akan mengatakan bahwa aku adalah anak sepasang bintang!
Sahabat, apa pun yang kehidupan berikan kepada
kita, syukuri dan nikmatilah. Karena sesungguhnya, dalam tiap kesukaran ada
kemudahan, dalam tiap kepahitan selalu terselip berkah, sepanjang mata hati
kita selalu terasah. (CN02)